Tragis
Pengisolasian diri dalam kerapuhan eksistensial terus mengembang bersama ledakan waktu yang perlahan melenyapkan diri. Semua peninggalan dalam berbagai macam bentuk karya seni dan metafor, sekalipun hanya sekedar gumaman meme dan sebuah permainan yang dalam garis finishnya ada hadiah berupa keabadian dalam skala minor, percayalah semua itu hanyalah ciptaan kreasi kolektif hiperbola yang harus dilupakan atau didaur ulang dalam sarkofagus untuk mencetuskan pengabadian yang jelas atas entitas jiwa yang terlahir sebagai para pecundang. Darah dan daging serta tengkorak yang dihiasi oleh lumuran keringat, mendamba ribuan perhatian dari khalayak umum yang memiliki ciri khas, mitos, humor, kemauan dan arogansi yang sama persis. Terbang memikul imajinasi kosong dan terperangkap dalam dopamine yang diproduksi oleh segumpal cairan lengket dalam otak yang mereka miliki secara masal. Apa sekarang kau takut dengan faktisitas yang menghendaki dirinya? dengan absurditas paradoksal yang acap kali menampar wajahmu? dalam pengharapan semua asumsi mengenai dirimu yang selalu mendapatkan nilai-nilai positif? namun sebenarnya hanya sebuah kebohongan untuk membuat kebahagiaa-kebahagiaan semu. Meskipun begitu, tak ada yang perlu di sesali atas seluruh kekosongan dan omong kosong yang telah menyadarkan ini, masih ada banyak petualangan yang berasal dari diri tanpa campur tangan dari dan oleh siapapun-sekalipun dalam genggaman ilahia.
01/02/21
Suara
Pemberontakan tragis, dilema moral penghakiman, lompatan iman , gedung-gedung bertingkat, darah dan daging Samsa yang terbang melalui mimpi buruknya, hingga kehancuran roda perbudakan oleh daya sentrifugalnya sendiri. Mungkin sebagian dari kami mengucurkan keringat untuk membuat godam, merakit kapal-kapal atau sekedar mendengarkan lagu-lagu sambil memakai- wajah-wajah palsu mulai dari detik kebangkitan hingga kematian. Tetapi kami tak pernah mati, kami juga tak hidup. Algoritma yang tak terlihat terus menyeret kami, memastikan segalanya tetap seperti yang tak diinginkan. kita tak pernah lupa untuk bercinta di setiap puing-puing reruntuhan bersama terpaan cahaya pendosa,ringkihan dari bilik-bilik kedai yang menyajikan kepedihan dalam secangkir minuman murah, bintang-bintang yang menatap dengan kejam. Sebuah kenangan indah semata dari sebuah terror dan kepanikan masal. Malam semakin mendorong dalam jurang persetubuhan, di mana lorong-lorong menyimpan sisa tawa yang tak pernah benar-benar utuh. Kami melayang di setiap dinding-dinding yang menyimpan tragedi dan lelucon, di antara jendela-jendela yang menyimpan derita jauh lebih buruk dari penyesalan itu sendiri, sementara lampu redup menyaksikan sesuatu yang seharusnya tak mungkin. Di sana kerapuhan terjadi, persimpangan antara realitas dan ilusi, kami terus menari bersama retakan, menertawakan bayangan sendiri, mengunyah kesepian seperti menelan roti basi. Setiap deru angin adalah perulangan, setiap langkah adalah gerak yang dibinasakan. Kami hidup dalam kekacauan, mengaminkan kehancuran, menyepakati keputusasaan, mencintai kesia-siaan dan menciptakan nyanyian dari gema yang terlupakan. Bersama kami di sini di kota yang melenyapkan segalanya.