Miratsdzanggi

Di tapak gurun, tanda tubuh benar membeku,
namun nafasmu sepetak muspell,
tak ada selasar hujan yang berani membawa amuk meredam,
yang gemanya biram diraja memetakan hari-hari
kau, tak lagi memahat makam
melegam pekat bau kemenyan
sebab aromamu seperti hujan turun
dengan deru deras sentosa adagium

lalu tiba tenang merapal badai
keterjagaanmu simpuh dalam kenangan
sementara mata pedang akan memajal
di selerangmu yang menadah ringkihan

dan benar, api selalu menatap pantiknya
di masing beku yang kita empunya
merintihkan bising sedalam sunyi
dan diikat sebrengsek anomali